April 18, 2008

Perselisihan Hak vs Perselisihan Kepentingan
Dalam Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)

Akbar Perdana*

(International Human Rights and Politics observer, Alumni of Andalas University,Law Faculty, former chairman of students perliament at Andalas University,Law Faculty, Former Executive Officer ILSA Andalas, and Founder Andalas Student Society of Law and Politics, Associate at Kenny Wiston Law Offices)

Sejak diterapkannya UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), dunia perburuhan Indonesia mengenal badan peradilan baru yang khusus menangani sengkete-sengketa hubungan industrial atau sengketa-sengketa perburuhan.

Kasus yang paling sering mengemuka di Pengadilan Hubungan Indistrial (PHI), adalah sengketa perselisihan kepentingan dan sengketa perselisihan hak. Sengketa yang terjadi tidak jarang merupakan hasil kesalahan mengintepretasikan apoa itu perselisihan hak dan apa itu perselisihan kepentingan. Jika kita lihat dalam UU No. 2 tahun 2004 mengenai PPHI pasal 1 angka 2 maka perselisihan hak itu adalah :

Perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Dari definisi tersebut, maka jelas bahwa perslisihan hak tibul karena adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran. Yang banyak terjadi adalah perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap perjanjian kerja.
Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan memberikan gaji kepada para karyawannya yang kemudian ditolak oleh para karyawan tersebut dikarenakan oleh masing-masing pihak mempunyai definisi yang berbeda terhadap perjanjian kerja yang telah dibuat, mak sengketa ini termasuk kepada perselisihan hak.
Sekarang kita lihat definisi perselisihan kepentingan menurut UU No.2 tahun 2004, tentang PPHI pasal1 angka 3 :

Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Dari definisi tersebut perselisihan kepentingan terjadi dalam proses pembuatan ataupun perubahan syarat-syarat kerja yang dituangkan dalam perjanjian kerja. Sebagai contoh, jika perusahaan merubah isi dari perjanjian kerja tanpa adanya kesepakatan dari karyawan, maka itu termasuk ke dalam rejim perselisihan kepentingan.

Banyak dari para pihak terutama dari pihak buruh yang menggunakan surat kuasa insidentil, tidak memahami benar isi kedua ketentuan tersebut. Hal ini yang menyebabkan mereka sering tertukar antara perselisihan hak atau perselisihan kepentingan.

Permasalahan yang kemudian timbul selain dari kesalahan intepretasi terhadap Undang-Undang, adalah perbedaan perlakukan yang ditunjukkan oleh badan peradilan hubungan industrial, sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI pasal 56. Pasal tersebut menyebutkan:

Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Pihak yang menggunakan surat kuasa insidentil lebih banyak memaksakan bahwa suatu perselisihan adalah perselisihan kepentingan walaupun sebenarnya perselisihan tersebut adalah perselisihan hak. Hal ini dikarenakan oleh kewenangan PHI untuk memutus suatu perkara perselisihan kepentingan untuk tingkat pertama dan terakhir.

Pihak yang menggunakan surat kuasa insidentil tersebut lebih memilih perselisihan kepentingan karena hemat dari segi pendanaan dan putusan yang diharapkan lebih memihak kepada mereka, tidak dapat diajukan ke tingkat kasasi yang akhirnya secara tidak langsung biaya yang dikeluarkan pun tidak banyak.

Lain halnya jika mereka menggunakan perselisihan hak, selain putusan yang belum tentu memihak kepada mereka, pihak lawan pun dapat mengajukan kasasi. Jika ini dilakukan, maka biaya yang dikeluarkan akan berlipat ganda, bahkan tidak menutup kemungkinan akan memakan biaya lebih besar dari itu.

Sampai kapan pun juga, jika hal ini tidak diantisipasi antara lain dengan revisi UU, maka akan banyak kita temui perbedaan intepretasi mengenai perselisihan hak dan perselisihan kepentingan di dalam PHI.

KEJAHATAN TERSELUBUNG PP NO.37/2006

April 18, 2008

FERI RADIN AMSARI
ANGGOTA BADAN PEKERJA BADAN ANTI KORUPSI (BAKO) SUMBAR DAN PENELITI PADA PUSAT STUDI KONSTITUSI (PUSaKO) FAKULTAS HUKUM UNAND

Untuk korupsi, ‘banyak jalan menuju Roma’. Ungkapan tersebut mungkin cocok menggambarkan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No.37 Tahun 2007 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2004 Tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD.

Dulu PP 110/2000 tidak mampu memayungi hasrat anggota DPRD dipelbagai daerah untuk bergaji tinggi, sehingga PP tersebut ‘dimodifikasikan’ oleh DPRD melalui APBD. Akibatnya mereka dituduh melakukan penyimpangan anggaran yang tak semestinya. Saat ini kehadiran PP No. 37/2006 jika dicermati memiliki motif yang lebih ‘halus’ untuk mengkapling keuangan daerah (yang utamanya untuk rakyat) menjadi seluas-luasnya dipergunakan untuk kepentingan anggota dewan yang terhormat. Walaupun itu jelas bertentangan dengan spirit Pasal 33 dn 34 UUD 1945 sebagai pondasi utama setiap produk perundang-undangan di Indonesia.

Korupsi Terselubung

Menurut Pasal 10 PP No.37/2006, penghasilan Pimpinan dan Anggota DPRD terdiri atas; Uang Representasi, Tunjangan Keluarga, Tunjangan Beras, Uang Paket, Tunjangan Jabatan, Tunjangan Panitia Musyawarah, Tunjangan Komisi, Tunjangan Panitia Anggaran, Tunjangan Badan kehormatan dan Tunjangan Alat kelengkapan lainnya.

Uniknya, jenis-jenis penghasilan tersebut ditambah lagi melalui ketentuan Pasal 10A PP tersebut, berupa Tunjangan Komunikasi Intensif dan Dana Operasional. Tunjangan komunikasi intensif besarnya paling tinggi 3(tiga) kali uang representasi Ketua DPRD. Sedangkan besaran Dana Operasional yang diperuntukan untuk pimpinan DPRD berkisar 4 (empat) sampai 6 (enam) kali uang representasi Ketua DPRD. Sedangkan menurut Pasal 11 ayat (2), besarnya uang representasi Ketua DPRD adalah setara dengan gaji pokok Gubernur (untuk kabupaten/kota setara dengan bupati/walikota).

Berdasarkan ketentuan PP No.37/2006 tersebut, besar gaji para legislator daerah Sumatera Barat bisa saja mencapai 41 juta untuk Ketua DPRD, 31 Juta untuk Wakil Ketua dan 21 Juta untuk anggota. Jumlah yang sangat fantastis jika dibandingkan jumlah penghasilan daerah. Bahkan jika diterapkan bulat-bulat dibeberapa daerah (kabupaten/kota) jelas tidak akan mampu untuk memenuhi amanat PP No.37/2006 tersebut.

Faktanya, lebih menyakitkan lagi bahwa anggota DPRD, baik di provinsi maupun kabupaten/kota tidak pernah memperlihatkan kinerja yang dapat dikatakan memperbaiki sistem ekonomi, politik, sosial maupun budaya yang ada melalui program legislasi daerah. Bahkan tidak terlihat dari anggota DPRD di Sumatera Barat ini yang mengeluarkan ‘fatwa’ menentang kelangkaan minyak tanah maupun mempermasalahkan kenaikan harga beras yang saat ini masih berlangsung. Oleh karenanya jika dilihat antara hak dan kewajiban, tentu antara gaji dan tugas tidak berimbang. Boleh dikatakan gaji yang akan diterima oleh anggota dewan tidak lebih dari harta ‘riba’ (menerima yang bukan hak).

Dilihat dari segi hukum positif, keberadaaan PP tersebut jelas bertentangan dengan asas kepentingan umum yang merupakan salah satu pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana termaktub dalam UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bahkan menurut Pasal 22 UU tersebut disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, (pemerintah-pen) daerah mempunyai kewajiban mewujudkan keadilan dan pemerataan. Kenaikan gaji anggota DPRD tersebut membuat semakin jauhnya jarak tingkat ekonomi antara rakyat dan orang yang mewakilinya.

Pertanyaannya kemudian adalah; apakah kenaikan gaji dewan ini bisa diindikasikan sebagai sebuah ‘korupsi’? Secara normatif legal form, bisa jadi tidak ada ketentuan yang dilanggar, karena kehadiran PP No.37/2006 ini jelas untuk ‘menghalalkan’ pencatutan uang rakyat oleh anggota DPRD. Namun jika dilihat melalui pandangan hukum yang berpedoman kepada keadilan, maka jelas hal tersebut sebuah penistaan terhadap keadilan. Menurut Pasal 3 UU No.31/1999 (sebagaimana dirubah dan ditambah dengan UU No.20/2001) Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi; setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yaang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana penjara seumur hidup…

Berdasarkan aturan tersebut, jika gaji DPRD naik, jelas hal tersebut dapat dikenakan delik korupsi, yaitu penyalahgunaan kesempatan karena jabatan. Oleh karenanya tidak ada keraguan sedikitpun, dalam persepsi saya, bahwa PP No.37/2006 ini dapat mengundang kembali kisah kelam perjalanan legislatif didaerah seperti sejarah PP 110/2000.

Peranan SBY dan Kepala Daerah

Melihat ketentuan Pasal 3 UU No.31/1999 tersebut, maka SBY dapat pula dikenakan delik korupsi. Secara politis lawan-lawannya di legislatif pusat (DPR) memiliki kesempatan untuk melakukan impeachment (pemakzulan) Presiden (lihat Pasal 7A UUD 1945). Namun hal itu tidak terjadi, ada beberapa faktor yang menyebabkan DPR bersikap demikian; pertama, anggota DPR (terutama kalangan oposisi) tidak menyadarinya. Kedua, kenaikan gaji anggota DPRD tersebut bisa jadi kesepakatan politik DPR dan Presiden demi kesejahteraan anggota partainya di daerah. Opsi kedua ini merupakan pilihan paling masuk akal. Politik balas budi ini akhirnya mengenyampingkan rakyat ditempat paling asing dalam cakrawala berpikir politikus di pusat maupun daerah.

Lalu bagaimana pula partisipasi kepala daerah? Jelasnya anggaran tersebut tidak akan berjalan dikarenakan kepala daerah memiliki kekuasaan dalam pengelolaan keuangan daerah (baca Pasal 156 ayat1 UU No.32/2004). Untuk itu jika kepala daerah menyetujui anggaran tersebut, otomatis berlaku pula baginya ketentuan Pasal 3 UU No. 31/1999. Oleh karenanya bersiap-siaplah kita untuk melihat anggota legislatif dan eksekutif menjadi terpidana kasus korupsi.

Penutup

Akhir-akhir ini korupsi telah menemukan wajah dan bentuknya yang baru. Kehadiran PP No. 37/2006 adalah contohnya, sebuh genre baru cara merugikan keuangan negara. Harta rakyat yang dipungut melalui retribusi maupun pajak (baca Pasal 157 UU No.32/2004) dimanfatkan untuk mensejahterakan anggota DPRD semata. Taktik tersebut merupakan kejahatan terselubung yang menghalalkan korupsi. Bila korupsi telah mampu ‘terputihkan’ oleh produk perundang-undangan buatan pejabat negara, maka gerakan rakyatlah lawannya.

KY Tanpa KPK

April 18, 2008

Feri Amsari
Peneliti pada Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)
Fakultas Hukum Universitas Andalas

Menjelang akhir masa tugasnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan shock therapy luar biasa bagi publik penegakkan hukum di Indonesia. Irawady Joenoes, anggota Komisi Yudisial (KY), Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan, Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim di tangkap tangan oleh Penyidik KPK ketika menerima suap dari Freddy Santoso, bos PT. Persada Sembada, pemilik tanah dimana akan dibangun gedung baru kantor KY.

Setelah melakukan pengamatan selama dua bulan, akhirnya Penyidik KPK menemukan waktu yang tepat untuk menciduk Irawady. Hasilnya Penyidik KPK menemukan uang sebesar Rp.600 juta didalam tas dan US$ 30 ribu di kantong Irawady pemberian Freddy. Sebuah bentuk suap yang menjadi bagian dari tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Peristiwa tersebut menyulut Ketua KY, Busyro Muqoddas untuk beraksi dan menyatakan dengan keras kepada publik bahwa besar kemungkinan Irawady akan dipecat dengan tidak hormat. Jika hal itu benar adanya, maka tindakan tersebut telah sesuai jalurnya demi menjaga integritas KY sebagai cleaner tool of judge yang selama ini menjadi identitas publiknya. Sapu kotor tidak akan mampu membersihkan lantai yang kotor pula, pekerjaan sia-sia. Tindakan KPK setidaknya demi membenahi KY agar lebih baik lagi kedepan, agar mampu menjalankan tugasnya sebagaimana diamanahkan UU No 22/2004 tentang KY.

Irawady dan Hakim Nakal

Boleh dikatakan selama KY ‘bernafas’, tujuan pembenahan moralitas dan perilaku hakim di Indonesia masih jauh sekali dari harapan publik agar mafia peradilan, khususnya hakim dan hakim agung dapat menjadi ranah yang kembali suci dari noda hitam money games. Jika Penangkapan KPK terhadap Irawady tidak salah kaprah, maka besar kemungkinan harapan publik tersebut tinggal menunggu waktu lama untuk diwujudkan.

Dipelbagai kasus-kasus yang terjadi di daerah dan pusat, laporan terhadap penyimpangan perilaku hakim telah begitu menumpuk, namun anehnya sedikit sekali hakim yang ditindak melalui sanksi yang memadai. Masih segar diingatan kita hakim yang terlibat kasus Pilkada Depok ternyata malah dipromosikan di daerah lain sebagai Ketua Pengadilan Negeri. Walau tidak sepenuhnya hal tersebut adalah tanggung-jawab KY tetapi KY memiliki peran penting untuk membenahinya.

Kesemua laporan penyimpangan hakim itu bermuara di ‘meja’ Irawady selaku Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan, Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim KY. Jika melihat hubungan penangkapan Irawady dengan masih buruknya peradilan di Indonesia, maka berlaku asas kausalitas yang dapat menjelaskannya.

Terhadap asumsi yang menyatakan bahwa hakim-hakim, baik diperadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung (MA) akan bergembira-ria menyaksikan ‘kemalangan’ KY bisa jadi salah. Faktornya, ‘kehitaman’ Irawady bisa saja telah diketahui para hakim dikarenakan jenjang karirnya sebagai Jaksa dipelbagai daerah yang memungkinkan hakim-hakim telah mengetahui siapa sesungguhnya Irawady dan biasanya kejahatan tidak berjalan sendiri-sendiri. Oleh karenanya penangkapan Irawady bisa saja menjadi jalan bagi terbukanya ‘kedok’ hakim-hakim nakal yang selama ini bisa saja masih tersimpan diatas meja Irawady.

Irawady adalah contoh buruk pembenahan peradilan kita. Carut-marutnya sistem pengawasan dalam ranah peradilan menjadikan upaya pembenahan tempat pencari keadilan bernaung tersebut sulit untuk dilakukan. Kondisi seperti itulah yang menyebabkan mafia peradilan masih hidup subur, tak lapuk dimakan hujan tak lekang oleh panas, hidup subur di jaman otoriter (Orde Baru) berkembang pesat dikala reformasi.

KPK dan Penyelamatan KY

Oliver Wendel Holmes, mantan Hakim Agung Amerika pernah mengucapkan bahwa hukum yang sesungguhnya itu adalah putusan hakim. Oleh karenanya hakim adalah penentu penegakkan hukum, tanpa hakim perundang-undangan hanyalah omong kosong belaka, catatan tanpa arti, ilmu tanpa amal, peradilan tanpa keadilan, alias sia-sia belaka. Untuk itulah KY lahir untuk mewujudkan hakim yang bermakna, bukan hakim omong-kosong belaka, menjadikan hakim sebagai penegak hukum yang sesungguhnya.

Selain itu, setidaknya penangkapan tersebut bisa dikatakan preventive strategy bagi tugas KPK sendiri, yaitu membersihkan dunia peradilan di Indonesia dari penyakit korupsi, hanya saja jalan yang ditempuh tidak langsung kesasaran yaitu hakim-hakim nakal tetapi terlebih dahulu pengawas nakalnya yang dibersihkan. Disisi lain KPK telah menjadi penyelamat tugas KY yang diamanahkan oleh UU No.22/2004 sebagai pengawas hakim. Tanpa penangkapan tersebut bisa jadi KY hanya jadi ‘macan ompong’ belaka, tidak memberikan rasa pertakut kepada para hakim. Oleh karena itu KPK telah menjadi penyelamat bagi KY. Apa jadinya KY tanpa KPK.

Penutup

Tentu saja penangkapan tersebut harus memiliki tindak lanjut yang jelas. Kekosongan tugas pengawasan perilaku hakim tidak bisa dibiarkan kosong, harus segera di isi, Presiden dan KY sendiri berperan penting untuk melakukan tindakan nyata untuk itu. Tindakan lain tentu saja di peruntukan bagi KPK, jangan hanya KY saja yang dibersihkan tetapi juga lembaga-lembaga negara lain tanpa mempedulikan kekuatan politik apa yang mendukungnya.

Di sudut lain penangkapan ini juga memberikan penyadaran kepada publik yang menunggu gebrakan KPK ke depan atau seperti apakah KPK jika ditinggalkan oleh komisioner-komisionernya dan digantikan oleh orang-orang baru yang penuh tanda-tanya. Setanda-tanya, apa jadinya KY tanpa KPK?

Bencana Kunker DPRD

April 18, 2008

Feri Radin Amsari
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas

Kunjungan kerja (Kunker) Komisi A DPRD Kabupaten Solok dan beberapa komisi di DPRD Sumbar (Padang Ekspres 14/03) mengikis pemahaman mengenai konsep ‘wakil rakyat’. Wakil rakyat yang ditasbihkan melalui teori konstitusionalime sebagai aspirator yang menampung segala gundah gulana rakyat menjadi termentahkan dengan mudah dengan fenomena kunker tersebut. Ketika rakyat dalam kondisi sulit, ratap-tangis belum lagi usai dan kemungkinan gempa lanjutan masih saja mengancam, disaat itu pula anggota DPRD angkat kaki, ‘berwisata’ ke kota-kota yang secara kultur dan nuansa sosial-politik jauh berbeda dengan kondisi sosial ‘minang kabau’.

Wakil rakyat telah menjadi sekumpulan orang-orang yang tidak peka terhadap kondisi rakyat sekitarnya. Bencana yang menimpa rakyat dihindari dengan kunjungan yang semestinya dapat ditunda, setidaknya setelah korban bencana di daerah ini dapat menarik nafas dengan lega. Kunker telah dijadikan sarana untuk melarikan diri dari tanggung jawab sebagai wakil rakyat.

Kunker berbau Wisata

Masih tersimpan dalam ingatan, ketika beberapa anggota DPR RI mengunjungi Mesir dengan alasan studi banding yang akhirnya diketahui kunker tersebut akhirnya hanya sekedar proyek belanja para wakil rakyat. Peristiwa tersebut bukan satu-satunya karena telah menjadi budaya yang tak terpisahkan dalam setiap kunker para wakil rakyat. Budaya hedonisme yang melestarikan mentalitas konsumeristis tersebut jelas bertolak belakang dengan kondisi negara.

Keberangkatan Kunker DPRD kabupaten Solok dan Provinsi Sumbar lebih mengecewakan lagi. Bagaimana tidak, disaat rakyat sendiri sedang ditimpa kemalangan, studi banding (baca; kunker) menjadi hal yang ‘dipertuhankan’, sehingga tak mampu lagi ditunda.

Kunker tersebut secara logika tidak bisa dibenarkan dari beberapa sudut pandang. Pertama, biaya Kunker sangat besar, sedangkan saat ini daerah-daeerah yang dilanda bencana gempa membutuhkan biaya untuk rekonstruksi atau relokasi tempat tinggal penduduk pasca bencana. Kedua, masalah efisiensi, keberangkatan anggota DPRD tersebut jelas sangat bertentangan dalam konsep penghematan anggaran. Semestinya tidak perlu puluhan anggota DPRD harus berangkat menyambangi daerah lain dalam rangka studi banding pembentukan rancangan peraturan daerah (ranperda), cukup saja mendatangkan beberapa orang dari daerah percontohan yang memahami konsep ranperda yang akan dibuat. Dengan mekanisme tersebut anggaran daerah akan terhindar dari ‘pemubaziran’ ratusan jutaan rupiah yang akan dikeluarkan untuk akomodasi dan tunjangan kerja puluhan anggota DPRD. Ketiga, kunker yang berkaitan dengan pembentukan ranperda manajemen penanganan bencana merupakan konsep yang tidak berlandaskan pola pikir yang matang. Semestinya jika ingin memahami sebuah kondisional penanganan bencana, maka DPRD harusnya lebih aktif berada didaerah bencana dan kondisi tersebut telah tersedia di daerah sendiri.

Oleh karena itu kunker tersebut lebih berbau sebagai sebuah kunjungan wisata daripada studi banding, bagaimana tidak dikarenakan daerah yang dikunjungi tersebut lebih dikenal sebagai daerah wisata dibandingkan sebagai daerah yang pernah menangani bencana. Bisa jadi hal tersebut merupakan konsep melarikan diri dari amanah sebagai wakil rakyat, menyedihkan !

Bencana Wakil Rakyat

Keberadaan wakil rakyat dalam teori demokrasi modern memang penting. Keseimbangan pemisahan kekuasaan negara menjadi tidak lengkap tanpa kehadiran institusi wakil rakyat. Wakil rakyat adalah tumpuan harapan bagi rakyat agar mimpi-mimpi mereka dapat diperjuangkan.

Teori tersebut tentu kontradiktif dengan peristiwa keberangkatan beberapa anggota DPRD untuk kunker. Sebuah bencana besar tentu adalah apabila terdapat rasa ketidakpedulian pemimpin terhadap rakyat yang dipimpinnya. Apabila keberadaan wakil rakyat menjadi sebuah bencana bagi rakyat, tentu saja tidak ada gunanya rakyat diwakili.

Untuk itu perlu dipikirkan kembali mengenai cara bagaimana menarik keterwakilan rakyat itu sendiri dalam sistem ketatanegaraan kita apabila para wakil rakyat menyimpang dari apa yang telah diamanahkan. Tanpa mekanisme tersebut wakil rakyat seringkali menyimpang dari patron yang semestinya. Oleh karenanya ranperda yang mesti didahulukan oleh wakil rakyat adalah ranperda tentang mekanisme recall anggota DPRD oleh rakyat. Konsepnya bisa jadi melalui mekanisme class action atau gugatan pada peradilan mengenai penarikan keterwakilan.

Hal itu penting diatur dalam sistem bernegara kita jika tidak wakil rakyat bisa menjadi bencana tersendiri bagi rakyatnya.

Penutup

Kekurangan dalam sistem perwakilan menciptakan wakil rakyat sebagai sebuah kelas atas yang asing bagi komunitas sosial kemasyarakatan lainnya. Anggota dewan menjadi kelompok yang jauh dari rasa kepedulian, rakyat dianggap sebagai kelompok yang hanya butuh santunan. Dengan sedikit sumbangan, maka wakil rakyat telah menganggap kewajibannya telah dilaksanakan.
Wisata dengan ‘kedok’ kunker tersebut telah menghabiskan harapan kita terhadap wakil rakyat. Kunker telah menjadi bencana yang menbuncah ditengah-tengah bencana alam yang menimpa rakyat. Jika bencana diciptakan oleh wakil rakyat, lalu kepada siapa rakyat harus mengadu.

Penegakan Hukum

April 18, 2008

Dayu Ayesha
(Mahasiswa Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia)

PENEGAKAN HUKUM

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan—hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tatapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan “Law enforcement” ke dalam bahasa indonesia dalam menggunakan perkataan “Penegakan Hukum” dalam arti luas dapat pula digunakan istilah “Penegakan Peraturan” dalam arti sempit. Pembedaan antara formalita aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah “the rule of law” atau dalam istilah “ the rule of law and not of a man” versus istilah “ the rule by law” yang berarti “the rule of man by law” Dalam istilah “ the rule of law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah “ the rule of just law”. Dalam istilah “the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.

Dengan uraian diatas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi subyeknya maupun obyeknya atau kita batasi haya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya hanya menelaah aspek-aspek subyektif saja. Makalah ini memang sengaja dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait dengan tema penegakan hukum itu.

PENEGAKAN HUKUM OBYEKTIF
Seperti disebut di muka, secara obyektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup Pengertian hukum formal dan hukum materiil. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiil mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dengan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian pengertian “law enfocement” dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti hukum materil, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi “court of law” dalam arti pengadilan hukum dan “court of justice” atau pengadilan keadilan. Bahkan dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika serikat disebut dengan istilah “Supreme Court of Justice”.

Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan bukti formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materil yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materil untuk mewujudkan keadilan materiil. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisikan penegakan keadilan itu sendiri, sehingga penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.

Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subyek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena itu, secara akademis, sebenarnya persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam keseimbangan konsep hukum dan keadilan. Dalam setiap hubungan hukum terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara pararel dan bersilang. Karena itu secara akademis, Hak Asasi manusia mestinya diimbangi dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, issue hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan da penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsi ke dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstiotusionalisme inilah yang memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar pada hukum (Constitutional democracy).

Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya, tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara tersendiri. Lagi pula, pakaha hak asasi manusia dapat ditegakkan?. Bukankah yang ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan bukannya hak asasi manusia itu sendiri?. Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang sudah salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan “hak asasi manusia “. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak asasi manusia dan kesadaran untuk mengghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan kita pun memang belum berkembang secara sehat.

APARATUR PENEGAK HUKUM
Aparatur penegak hukum menncakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa hakim dan petugas-petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.

Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat 3 elemen penting yang mempengaruhi, yaitu:

  1. institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;
  2. budaya kerja ytang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan
  3. perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.

Namun, selain ketiga faktor diatas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di negra kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai negara hukum yang mencita-citakan upata menegakan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatr indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri atau belummencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lai dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaharuan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yaitu:

  1. pembuatan hukum (‘the legislation of law atau Law and rule making),
  2. sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum ( socialization and promulgation of law) dan
  3. penegakan hukum (the enforcement of law).

Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) administrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut diatas. Dalam arti luas, The administration of law itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah sikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan administrasi negara(beschikings), ataupun penetapan dan putusan (vonius) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah. Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka?. Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak diketahuinya?. Meskipun ada teori “fiktie” yang diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu ketidak tahuan masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosial dan pembudayaan hukum secara sistematis dan bersengaja.

 

Apa Itu Kepastian Hukum?

April 18, 2008

Yance Arizona
Penulis berkegiatan pada Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Jakarta.

Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.

Pemikiran mainstream beranggapan bahwa kepastian hukum merupakan keadaan dimana perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum. Secara etis, padangan seperti ini lahir dari kekhawatiran yang dahulu kala pernah dilontarkan oleh Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo hominilupus). Manusia adalah makhluk yang beringas yang merupakan suatu ancaman. Untuk itu, hukum lahir sebagai suatu pedoman untuk menghindari jatuhnya korban. Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa perilaku manusia secara sosiologis merupakan refleksi dari perilaku yang dibayangkan dalam pikiran pembuat aturan. Barangkali juga pernah dilakukan untuk mengelola keberingasan para koboy Amerika ratusan tahun lalu.

Perkembangan pemikiran manusia modern yang disangga oleh rasionalisme yang dikumandangkan Rene Descarte (cogito ergo sum), fundamentalisme mekanika yang dikabarkan oleh Isaac Newton serta empirisme kuantitatif yang digemakan oleh Francis Bacon menjadikan sekomponen manusia di Eropa menjadi orbit dari peradaban baru. Pengaruh pemikiran mereka terhadap hukum pada abad XIX nampak dalam pendekatan law and order (hukum dan ketertiban). Salah satu pandangan dalam hukum ini mengibaratkan bahwa antara hukum yang normatif (peraturan) dapat dimauti ketertiban yang bermakna sosiologis. Sejak saat itu, manusia menjadi komponen dari hukum berbentuk mesin yang rasional dan terukur secara kuantitatif dari hukuman-hukum yang terjadi karena pelanggarannya.

Pandangan mekanika dalam hukum tidak hanya menghilangkan kemanusiaan dihadapan hukum dengan menggantikan manusia sebagai sekrup, mor atau gerigi, tetapi juga menjauhkan antara apa yang ada dalam idealitas aturan hukum dengan realitas yang ada dalam masyarakat. Idealitas aturan hukum tidak selalu menjadi fiksi yang berguna dan benar, demikian pula dengan realitas perilaku sosial masyarakat tidak selalu mengganggu tanpa ada aturan hukum sebelumnya. Ternyata law and order menyisakan kesenjangan antara tertib hukum dengan ketertiban sosial. Law and order kemudian hanya cukup untuk the order of law, bukan the order by the law (ctt: law dalam pengertian peraturan/legal).

Jadi kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Karena frasa kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku terhadap hukum secara benar-benar. Demikian juga dengan mekanika Newton. Bahkan Mekanika Newton pun sudah dua kali dihantukkan dalam perkembangan ilmu alam itu sendiri, yaitu Teori Relativitas dari Einstein dan Fisika Kuantum.

 

Jaminan Hukum Masyarakat Adat

April 18, 2008

Yance Arizona

Penulis berkegiatan pada Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Jakarta.

Keberadaan masyarakat adat adalah fakta sosial sejak lama di tanah yang sekarang kita kenal dengan Indonesia. Bahkan jauh sebelum bentuk Republik diproklamasikan tahun 1945.

Dalam masa pergolakan menuju republik, kelompok-kelompok intelektual mengagregasi kepentingan-kepentingan masyarakat adat untuk menjadi salah satu argumentasi menuntut kemerdekaan, di samping hal-hal penting lainnya. Namun, dalam semangat nasionalitas yang meninggi, lokalitas adat tidak dimasukkan sebagai penyangga hukum (hak) dasar yang disusun oleh para founding father. Pembicaraan mengenai masyarakat adat dalam penyusunan UUD 1945 hanya dibicarakan oleh M. Yamin dan Soepomo. Para tokoh lain yang berasal dari daerah tidak meresponsnya dengan serius.

Konstruksi masyarakat adat yang diatur dalam UUD 1945 generasi pertama adalah pemerintahan masyarakat adat sebagai pemerintah “bawahan” yang istimewa untuk menopang Pemerintahan Republik di Jakarta. Sebagaimana sebutkan dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945: “Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen (daerah-daerah swapraja) dan volksgetneenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.”

Pada masa itu, paham integralistik dari Soepomo dipercaya akan menjadikan negara sebagai organisasi budiman, ibarat sayang bapak kepada anaknya (paternalistik). Untuk itu, semua hak dinaikkan kepada negara kemudian unit-unit sosial lainnya seperti masyarakat adat dijadikan sebagai bagian dari skema pemerintahan baru yang menyatu dengan misi Jakarta.

Korban Pembangunan

Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, eksploitasi sumberdaya alam merupakan kunci utama pertumbuhan ekonomi. Eksploitasi sumberdaya alam yang mengundang intervensi modal dengan dalih pembukaan lapangan kerja berkontibusi besar merusak tatanan dan peminggiran masyarakat adat. Pola seperti ini menghadap-hadapkan masyarakat adat dengan pemilik modal dan pemerintah sebagai fasilitator modal tersebut di lapangan.

Perundang-undangan dan kebijakan pemerintah republik terutama UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) meletakkan masyarakat adat dengan hak ulayatnya dalam rumusan aturan yang ambigu. Antara mengakui dan mencurigai. Kemudian dalam era Pembangunanisme Orde Baru, disamping ambiguitas yang dipertahankan, masyarakat adat dideskreditkan dengan sebutan sebagai masyarakat terasing, masyarakat primitif, atau masyarakat terbelakang. Akhirnya lewat UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa, masyarakat adat yang memiliki pola pemerintahan khas diseragamkan menjadi desa. Inilah pukulan telak terhadap keberadaan masyarakat adat.

Motif perundang-undangan pada masa itu adalah merubah tatanan masyarakat adat yang tradisional menjadi masyarakat berbudaya modern.

Namun, dunia telah membuktikan, bahwa pembangunanisme (developmentalisme) meneruskan semangat kolonialisme dengan merampas tanah masyarakat adat, melakukan peminggiran dan mengobok-obok pola produksi dan tatanan politik masyarakat adat. Hal ini kemudian membuat gerakan internasional dan perlawanan lokal masyarakat adat muncul dan menguat. Perlawanan masyarakat adat di Indonesia menguat seiring tumpangnya Orde Baru sebagai suatu upaya emansipasi, reparasi dan restitusi hak-hak yang selama Orde Baru berkuasa telah dipinggirkan.

Pada taraf Internasional, sejak pembentukan Working Group on Indigenous Population (WGIP) pada tahun 1981, baru pada bulan September tahun 2007 lahirlah Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Asli (United Nation Declaration on the Rights of Indigenous People) yang dapat dijadikan sebagai bahan argumentasi baru bagi gerakan masyarakat adat di Indonesia.  

Amandemen bersyarat

Amandemen UUD 1945 kedua yang disahkan pada 18 Agustus 2000 memberikan aturan yang lebih luas tentang masyarakat adat dibandingkan dengan UUD 1945 generasi pertama. Dikatakan lebih luas karena disamping meneguhkan aturan pemerintahan masyarakat adat yang istimewa, juga diatur secara deklaratif bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya …” Namun, sayangnya pengakuan itu diikuti dengan persyaratan-persyaratan: “… sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Persyaratan yang terdapat dalam Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 mengekor kepada persyaratan yang sebelumnya ada di dalam UUPA (1960) yang ambigu itu. Kemudian dalam beberapa undang-undang yang dibuat pasca Orde Baru masih konsisten untuk mengerem progresivitas masyarakat adat lewat persyaratan-persyaratan sebagaimana dalam UU Kehutanan (UU No. 41/1999), UU Sumberdaya Air (UU No. 7/2004), dan UU Perkebunan (UU No. 18/2004)

 

Pengaturan masyarakat adat di dalam hukum negara mulai dari level UUD sampai peraturan di bawahnya masih bersifat ambigu karena tidak jelas dan tidak tegas. Dikatakan tidak jelas karena tidak terinci bagaimana hak dan posisi masyarakat adat dalam kerangka kebijakan negara secara lebih luas dalam ikhtiar kesejahteraan sosial secara bersama. Dikatakan tidak tegas karena belum ada pengaturan yang dapat ditegakkan untuk mengatasi persoalan-persoalan lapangan yang selama ini dialami masyarakat adat seperti “perampasan” ulayat dan ancaman kriminalisasi dari hukum negara, terutama perundang-undangan yang berkaitan dengan sumberdaya alam.

Kebingungan Pemerintah

Ada dua kemungkinan mengapa pengaturan masyarakat adat dalam hukum negara dari dahulu sampai hari ini masih kabur. Pertama: Pemerintah dalam kapasitas sebagai regulator tidak mampu mengkonstruksi keragaman masyarakat adat dengan totalitas sosialnya ke dalam suatu perundang-undangan yang bersifat tertulis, publik dan general secara akomodatif. Hal ini dikarenakan kemajemukan masyarakat Indonesia yang terkategorisasi dalam berbagai pengelompokan secara horizontal berdasarkan suku, agama, ras, bahasa dan lainnya yang tersebar pada berbagai pulau.

Kemungkinan kedua, Pemerintah enggan atau tidak mau membuat aturan yang menguatkan keberadaan masyarakat adat. Hal ini merupakan warisan dari “pembangunanisme” Orde Baru yang meletakkan masyarakat adat sebagai faktor yang dapat menghambat investasi. Kekaburan pengaturan masyarakat adat pada kenyataannya menguntungkan penguasa politik dan pengusaha swasta besar karena dapat memanipulasi hukum yang terlanjur melemahkan masyarakat adat.

Namun, konstitusi sudah memberikan janji bahwa masyarakat adat harus dihormati dan diakui. Pengalaman ketidakadilan dan peminggiran selama ini sudah cukup menjadi konsideran untuk lahirnya suatu pengaturan yang lebih baik bagi masyarakat adat. Meskipun lahirnya suatu aturan yang baik belum tentu berdampak pada jaminan sosial masyarakat adat. Setidaknya peraturan hukum yang lebih jelas dan tegas bisa menjadi salah satu jaminan serta menjadi arena negosiasi yang deliberatif.

 

 

Dark Dusk at KL

April 18, 2008

By Akbar Perdana*

 International Human Rights and Politics observer, Alumni of Andalas University,Law Faculty, former chairman of students perliament at Andalas University,Law Faculty, Former Executive Officer ILSA Andalas, and Founder Andalas Student Society of Law and Politics, Associate at Kenny Wiston Law Offices

 2007 is the year where Malaysia has celebrates their 50th years of independence. In 2007, Malaysia had many kinds of trouble from inside and outside the country.  It’s began from their relationship with Indonesia, the opposition struggle, until the eruption of the disagreement from the minority who been treated discriminately. Also in the same year, Malaysia had lost their senses in the freedom to speak or well known as democracy. Because of it, Malaysia has been shacked by their own citizens.    This is caused by the failure ness of the government of Malaysia to create a full balance to cover all Malaysia multi ethnics citizens.

 Versus Indonesia

             After the disharmonisation with Indonesia in the Sipadan and Ligitan Island case, which followed by the Ambalat case, Malaysia reach for their disharmonisation with Indonesia again, when the government of Malaysia stole  a view of Indonesia culture and custom, and said that such culture and custom is also belongs to Malaysia. Such custom is the Ambonese song, “Rasa Sayange”, special culture from Ponorogo, “Reog Ponorogo”, and their effort to make “Angklung”, one of the West Java well known culture as Malaysia culture. The Malaysia acted again pick up some protest. But this time from the Indonesian culture expert and all the Indonesian citizens. “Truly Asia” as Malaysia well known theme for their tourism goals, has make them to stole Indonesia culture and custom then sale tem to international society as it’s Malaysia culture and custom. Because of this disharmonisation, there’s a time when the relationship between the two countries reach the highest level of tense. Again, it solved by only the statement from the Malaysia government, stating Malaysia and Indonesia are like brothers and sisters. But the international society knows that the Ambalat case also solved by such statement, and the disharmonisation always occur again. At that time, to avoid any further negative action from Indonesia citizens who displease with the Malaysia government action, the Malaysia government also said the same reason, “Indonesia and Malaysia are brothers and sisters”. Looks like, the Malaysia government is no longer honoured Indonesia as their brothers or sisters. Before the incident of the stolen identity culture from Indonesia happens, Malaysia is not able to give the safety to the Indonesia workers in Malaysia. Malaysia government is acting discriminately to the foreign workers and also to the foreign visitors or tourist who only want to enjoy the fresh air of Malaysia. Likely this will cause to a bad effects for Malaysian tourism, because Malaysia doesn’t have any national identity to be proud of. Malaysia only hoping for the economics points in every kinds of relationship that they have with Indonesia without considering other effects which can be damage to the relationship it self. 

 Anti Opposition

             Before international society aware there’s discrimination for minority, many kinds of protests already happen in Malaysia. The oppositions established such protests to give the pressure until the government is willing to do election reformation. About 30.000 peoples has gathered to followed the protests just view weeks before about 10.000 crowd of peoples form the minority filled the city streets of Kuala Lumpur to fight against the discrimination. In the beginning, the Malaysia government never allowed for such protest to be happening in the city streets of Kuala Lumpur. But protester has to force they way. The protests ended with riots between the protester and the authority in the middle of Kuala Lumpur.  Because of it 245 protesters are captured, followed with the arrestment of another 9 protester in a protest in the Human Rights Day in the December 2007.  Such captured and arrestment has been done by the Malaysia government based one the Internal Security Act (ISA). Malaysia has took a view steps backwards for at least view years behind, after used ISA as they main weapons against many kinds of demonstration established by their own peoples. ISA is an act which has been caused former vice Prime Minister, Anwar Ibrahim, found him self in jail without habeas corpus. At that time Anwar has been sent to the prison because his government believe he is endangered the safety of the country it self.  Such acts give a full authority to the Police to take any necessary action including capture and arrest against any people which consider as a threat to country without habeas corpus. 

 The opposition struggle to maintain the democracy in the land of Malaysia may not be started without Anwar Ibrahim. The Malaysia government puts Anwar Ibrahim as they opponent who can be a serious threat to the Malaysia government stabilisation. Anwar have his own loyalist followers who willing to sacrifice their life for the sake of Anwar Ibrahim, and gives him any kinds of necessary supports. It makes Malaysia government have no other choice besides controlling Anwar Ibrahim movement. For the 2nd time Anwar Ibrahim captured by the Malaysia government based on the ISA. Soon after his arrival at Kuala Lumpur International Airports, Malaysia immigration captured Anwar Ibrahim. But then Anwar Ibrahim released an hour after the capture with his paspor on the black list as the term for his release.  The cause of this is Anwar Ibrahim can not longer travel to different country to find any kind of support from foreign country. His need such support to give the pressure to the Malaysia government to reform the election system. The captured of Anwar Ibrahim looks like will not stop the opposition to find the democracy in Malaysia. They will keep fight for the election reformation.

 Diskrimination

             The Bumiputera wisdom is the main reason for the eruption of the minority unsatisfaction against the Malaysia government. The Bumiputera wisdom puts the Melayu ethnics as the majority as the ethnics who will always gain the fortune. As a majority, the Melayu ethnics may owns the best things in economics, education, work, and business. Meanwhile the minority, such as the India ethnics, doesn’t own such things. The Malaysia government didn’t see this as a big matter which can lead into the democracy disaster.

 The minority effort to protest the Malaysia government because of the injustice conditions that they had can be done with the freedom to speak as been honoured in the United Nations Charter. But such freedom may not exist in Malaysia. The freedom the Malaysian citizens’ these days is that free anymore, especially for the minority.  31 Malaysia citizens were captured during the demonstration at the north side of Kuala Lumpur. They have been indicted with the attempt to murder the Policeman whom got injured where the demonstration took place. The Policeman got injured in that demonstration.  The captured told that they did not try kill or even to harm the Policeman. What did happen is, the Policeman it self who harm them. Again, ISA became a key to success for Malaysia government when they using it against the captured citizens. The captured citizens are the minority activists.  To catch up the breath, Malaysia government then accused the minority activists as the members of the Srilanka Rebellion.  The anti democracy, which has been shown by the Malaysia government, established a knife in the middle of the relationship between the minority and the Malaysia government.

Pressures that had been given by the oppositions and the minority will only establish any sequel from negative actions. Looks like it will be a choice form the both part to take action against the Malaysia government. Because the both side already explain one thing. They will not give up until the democracy is settled in Malaysia. It will be settle if only the Malaysia have done the oppositions and the minority order, which is to reform the election system, and to wipe out any further discrimination actions.

The discrimination and opposition limited move by the Malaysia government, reflects how the Malaysia government has took many steps far behinds. The Malaysia citizens no longer trust their government. Looks like, Malaysia no longer have Human Rights Law and democracy. The International society seen Malaysia, -Modern Islamic country with their great Gross Domestics Brute and their special relationship with the United Kingdom-, have not able to put democracy as the main basic to reach a good governance. The freedom to speak and the freedom to express in public place is no longer exist in this country, which so different their neighbour, Indonesia. The incapable of the Malaysia government, lead by PM Ahmad Badawi to puts democracy has cause severe struggle from the oppositions and the minority. The effects are negatives opinion from international society. Although in many occasions the Malaysia government has said that they will not tolerate any kinds of international society interfere ness to their national affairs, will not stop the international society to concentrate on Malaysia democracy.   The Malaysia government has stop the demonstrations with unnecessary repressive actions, caused many citizens wounded.

When the Malaysia government should show their respect to the Human Rights, they had chosen to wipe it out by put ISA as thy weapons. Malaysia will fall down by this action. If  the Malaysia government could not  established  democracy, Malaysia will facing the destroy of trust suffer by they own peoples in 2008. It is 180 degrees differences with Indonesia. Indonesia work very hard to earn their success in democracy 2007. The International Association of Political Consultant (IAPC) awarded Indonesia with the Democracy Medal at the very end of 2007.  Before the awarded international society already known Indonesia as the most democracy country in the world right after Indonesia success in their multi parties election in 2004. When the Malaysia government stated that Malaysia and Indonesia are Brothers and sisters, international society already knew that both countries are very different. Malaysia and Indonesia separated by a border. A border that could only be happens just because there are differences between the two countries, especially when we talk about the democracy. When Indonesia is looking at a beautiful dusk in 2008, Malaysia is facing a dark dusk of democracy.

 

Hello world!

April 18, 2008

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!